laman

Kamis, 03 Mei 2012

KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN INCEST DALAM PERSPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN PERKAWINAN INDONESIA


A.    Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi Sunatullah bahwa segala makhluk yang hidup di muka bumi ini diciptakan oleh Allah SWT untuk hidup berpasang-pasangan. Hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk termasuk manusia, oleh karena itu semua makhluk Tuhan baik hewan, tumbuhan dan manusia dalam hidupnya ada perkawinan.[1]
Allah SWT berfirman:
ومن كلّ شيء خلقنا زوجين لعلّكم تذكرون[2]
Manusia adalah makhluk yang paling mulia di muka bumi ini, sehingga Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan hubungannya antara jantan dan betina secara anarkhi dan tidak ada aturan yang mengaturnya. Demi menjaga martabat kemuliaan manusia, Allah SWT menurunkan hukum sesuai dengan martabat kemuliaan manusia, karenanya dalam hubungan lawan jenis antar manusia pun diatur sedemikian rupa dengan jalan perkawinan manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya.
Perkawinan merupakan suatu akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan persetubuhan (الوطء) sekaligus sebagai ikatan lahir batin untuk hidup bersama secara sah untuk membentuk keluarga yang kekal, tentram dan bahagia.[3] Selain itu perkawinan bertujuan untuk memperoleh keturunan (reproduksi/regenerasi).[4]
Perkawinan dalam Islam diatur sedemikian rupa, oleh karena itu perkawinan sering disebut sebagai perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Perkawinan juga merupakan suatu ikatan, akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah SWT sehingga melaksanakannya merupakan ibadah.
Salah satu tujuan syariah Islam (maqȃshid asy-syarî’ah) sekaligus tujuan perkawinan adalah hifẓ an-nasl yakni terpeliharanya kesucian keturunan manusia sebagai pemegang amanah khalîfah fi al-arḍ. Tujuan syariah ini dapat dicapai melalui jalan perkawinan yang sah menurut agama, diakui oleh undang-undang dan diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat.[5] Dengan perkawinan yang sah menurut agama, pasangan suami istri tidak memiliki beban kesalahan/dosa untuk hidup bersama, bahkan memperoleh berkah dan pahala. Keyakinan ini sangat bermakna untuk membangun sebuah keluarga yang dilandasi nilai-nilai moral agama. Di samping itu, institusi keluarga memperoleh pengakuan dan diterima sebagai bagian dari masyarakat sehingga keluarga yang demikian akan memperoleh perlindungan dari masyarakat, hidup berdampingan berdasarkan tata aturan dan norma yang berlaku di masyarakat.
Seiring perkembangan peradaban manusia yang semakin maju, masalah yang timbul dalam bidang hukum keluarga pun ikut berkembang, tidak terkecuali masalah perkawinan. Meskipun hukum agama dan perundang-undangan yang ada di Indonesia telah mengatur sedemikian rupa tentang tata cara perkawinan sehingga akibat-akibat yang timbul dari ikatan perkawinan dapat diakui di hadapan hukum, nyatanya masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah perkawinan sedarah, perkawinan sumbang atau dikenal dengan perkawinan incest atau ada pula yang menyebut perkawinan dengan wanita yang tergolong muhrim dan dilarang untuk dinikahi.
Praktek perkawinan sedarah atau hubungan sumbang (Inggris: incest) bukan merupakan hal yang baru lagi. Di Tel Aviv yang merupakan kota metropolis di Israel pernah terjadi perkawinan dengan sesama saudara seayah. Hal ini terjadi akibat teknologi kedokteran yang bernama inseminasi buatan dengan sperma donor. Sofwan Dahlan menceritakan kejadian ini dan menulisnya dalam koran Pelita:
Sekalipun hal ini kecil kemungkinannya, namun pernah terjadi di Tel Aviv, seorang remaja yang kawin karena menginginkan kebahagiaan rumah tangga, tetapi yang mereka dapatkan adalah kenyataan pahit, karena ternyata mereka berasal dari donor yang sama. Harus ceraikah mereka menurut undang-undang?[6] 
Di Indonesia sendiri sampai saat ini perilaku incest masih ada pada kelompok masyarakat tertentu, seperti suku Polahi di Kabupaten Polahi, Sulawesi, praktek hubungan incest banyak terjadi. Perkawinan sesama saudara adalah hal yang wajar dan biasa di kalangan suku Polahi.[7]
Selain itu, beberapa jurisprudensi menunjukkan adanya praktek perkawinan incest nyata terjadi di Indonesia, di antaranya Pengadilan Agama Indramayu memfasidkan perkawinan antara seorang laki-laki yang mengawini anak perempuan dari saudara perempuannya. Dengan putusan tanggal 6 Januari 1958 No. 5. Anehnya wali dan mempelai perempuan mengatakan bahwa mereka tidak tahu kalau sang mempelai perempuan masih mempunyai hubungan darah dengan mempelai pria.[8]
Selanjutnya adalah putusan Pengadilan Agama Yogyakarta No. 216/P.dt.G/1996/PA.Yk yakni putusan pembatalan perkawinan antara paman kandung dengan keponakannya yang semula menikah di KUA kecamatan Tegalrejo Yogyakarta. Pernikahan ini terjadi akibat keluarga mempelai tidak mengetahui adanya larangan perkawinan keduanya dan ketika petugas KUA menanyakan ada tidaknya hubungan mahram kedua keluarga mempelai memaparkan tidak ada.
Perkawinan incest diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa sifat lemah dari kedua tetua pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipenya berada dalam kondisi homozigot.[9]
Perkawinan incest tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang perkawinan incest. Di dalam aturan agama Islam (fikih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat), saudara dari orang tua, kemenakan, serta cucu.
Terlepas dari polemik perkawinan incest di atas, perlu mendapatkan perhatian adalah anak yang lahir akibat perkawinan tersebut. Pada dasarnya tidak ada seorang pun ketika terlahir di dunia telah memiliki dosa dan tidak ada dosa turunan. Secara biologis tidak ada seorang pun anak terlahir tanpa memiliki bapak. Mengenai beragamnya penyebutan terhadap status anak sendiri hendaknya harus disikapi dengan bijak.
Anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang diharapkan dapat menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Oleh karena itu, anak punya hak untuk mendapatklan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial dan mempunyai akhlak yang mulia karena sejak dalam kandunganpun mereka punya hak untuk hidup.[10] Anak adalah amanah dan karunia Allah Yang Maha Kuasa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.[11]
Selain itu hubungan nasab antar orang tua dan anaknya adalah hubungan keperdataan yang paling kuat dan tidak dapat diganggu gugat oleh hubungan lain dari manapun. Bahkan hubungan itu dalam pandangan agama dimungkinkan berlangsung sampai ke luar batas kehidupan dunia nasabnya. Secara moral anak shalih merasa berkepentingan menyertakan do’a untuk kedua orang tuanya di akhirat. Allah SWT melukiskan kedekatan hubungan ini seperti dalam al-Qur’an.
وهو الذي خلق من الماء بشرا فجعله نسبا وصهرا وكان ربك قديرا [12]
Anak merupakan salah satu obyek bahasan hukum syara’, tanpa kecuali melalui proses seperti apa dirinya dilahirkan di dunia. Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan umatnya, sehingga dalam syariat Islam tidak mengenal adanya dosa turunan. Bahkan Allah SWT tidak membebankan dosa yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, sebagaimana firman Allah SWT:
ولاتزر وازرة وزر أخرى وإن تدع مثقلة إلى حملها لا يحمل منه شيء ولو كان ذا قربى[13]
Dalam perundang-undangan perkawinan di Indonesia baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 ataupun dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tidak menyebutkan dengan jelas terkait kedudukan anak hasil perkawinan incest atau anak sumbang. Penyebutan anak sumbang dapat ditemui dalam pasal 31 K.U.H. Perdata.[14] UU No. 1 Tahun 1974, KHI, ataupun K.U.H.Perdata tidak mengatur secara detail tentang kedudukan anak hasil perkawinan Incest. Di dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 meskipun disebutkan akan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah terkait kedudukan anak namun sampai sekarang Peraturan Pemerintah yang dinantikan tidak kunjung dibentuk oleh pemerintah.[15]
Berdasarkan realitas di atas, maka sudah sepatutnya dibutuhkan pembahasan yang lebih mendalam dalam menganalisis kedudukan anak hasil perkawinan incest dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia untuk mengetahui sejauh mana status atau kedudukan anak tersebut di hadapan hukum yang berlaku di negara ini. Sehingga hak-hak anak tersebut dapat diperjuangkan sebagaimana yang seharusnya dia terima. Tentu saja pembahasan ini tidak mengesampingkan perundang-undangan lain yang terkait dengan hukum perkawinan Indonesia, seperti: Undang-undang Perlindungan Anak dan pandangan hukum Islam sebagai salah satu hukum yang juga berlaku dalam Masyarakat Indonesia.

B.     Pokok Masalah

           1.            Bagaimana kedudukan anak hasil perkawinan Incest perspektif Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Indonesia?
           2.            Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan terhadap kedudukan anak hasil perkawinan incest?

C.    Tujuan dan Kegunaan

         1.         Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
a.       Untuk menjelaskan kedudukan anak hasil perkawinan incest dalam perspektif Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Indonesia.
b.      Untuk menjelaskan akibat hukum yang ditimbulkan dari penetapan kedudukan anak hasil perkawinan incest.
         2.         Kegunaan 
a.       Secara Teoritis Keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan di bidang hukum dan memberikan sumbangan pemikiran yang berarti bagi khasanah ilmu pengetahuan hukum keluarga  Indonesia, terutama yang berkaitan dengan kedudukan anak hasil perkawinan incest, baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja, serta bermanfaat bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih mendalam terkait problematika perkawinan incest.
b.      Secara Pragmatis
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan hukum keluarga terkait kedudukan anak hasil perkawinan incest.

D.    Telaah Pustaka

Untuk meletakkan penelitian ini di antara penelitian yang telah dilakukan, dan agar lebih fokus serta terarah, dirasa perlu untuk melakukan telaah pustaka.
Buku Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang[16] karya J. Sastro yang di dalamnya menjelaskan perspektif Undang-undang tentang siapakah anak sah, siapa anak tidak sah, apa yang menjadi patokannya, anak tidak sah mana yang bisa diakui secara sah, bagaimana cara mengakuinya, dan bagaimana anak tidak sah dapat disahkan, selain itu buku ini juga membahas mengenai masalah adopsi. Adapun Undang-undang yang dimaksud dalam pembahasan buku ini difokuskan pada K.U.H.Perdata.
Buku Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga[17] yang merupakan kumpulan peraturan tentang perlindungan anak terutama dalam bidang Hukum Keluarga. Buku ini berisi setidaknya dua puluh dua peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tentang perlindungan anak, di samping itu buku ini ini juga membahas mengenai perlindungan anak dalam hukum adat Indonesia. Kelemahannya buku ini tidak lain hanya berupa peraturan-peraturan yang dibukkukan tanpa ada telaah analisis maupun penjelasan dari peraturan yang ada.   
Skripsi dengan judul “Kedudukan Anak Hasil Hubungan Incest Dalam Kewarisan Islam”. Skripsi ini menjelaskan tentang kedudukan anak hasil hubungan incest dalam hukum Islam, dan kedudukan anak hasil hubungan incest dalam kewarisan Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan deskriptif analitik.[18]
Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Perspektif Hukum Islam,[19] dalam skripsi ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan skripsi sebelumnya, yakni menjelaskan tentang hak kewarisan anak hasil hubungan incest di luar institusi perkawinan perspektif hukum Islam yang menyoroti permasalahan kedudukan anak tersebut atau status anak tersebut dalam hukum Islam serta  kewarisan anak hasil hubungan incest dalam kacamata hukum Islam. Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian pustaka (library research), dengan sifat penelitiannya adalah deskriptik analitik.
Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Antara Pasangan Suami-Isteri Yang Dilarang Menikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/Pdt.G/1996/Pa.Yk)”[20] dalam pembahasannya penulis menjelaskan kajian tentang status anak dari pernikahan yang dibatalkan oleh Pengadilan Agama Yogyakarta akibat adanya penghalang pernikahan antara kedua orangtuanya. Pada dasarnya dalam putusan ini tidak disertakan status anak yang dihasilkan dari perkawinan yang dibatalkan karena hal tersebut tidak tercantum dalam gugatan. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis-normatif dengan cara menganalisis kasus dari aspek hukum positif dan hukum Islam. Penelitian yang dilakukan menghasilkan data yang dapat disimpulkan sebagaimana berikut: (1) bahwa putusan pembatalan perkawinan Nomor 216/Pdt.G/1996/PA.Yk di Pengadilan Agama Yogyakarta telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan ketetapan syara’, (2) bahwa anak pertama (laki-laki) yang lahir di luar perkawinan yang sah secara hukum Islam dianggap sebagai anak tidak sah dan dalam hukum positif hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya, mengenai hak ḥaḍᾱnah, hak kewarisan, hak nafkah, serta hak wali nikah  secara otomatis ada pada ibunya dan keluarga ibunya. Begitu juga dengan anak kedua (perempuan) tetap sebagai anak tidak sah karena dalam hukum Islam hubungan nasab menjadi penyebab perkawinan batal demi hukum. Sehingga hubungan nasab ada pada ibunya dan keluarga ibunya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan setelah perkawinan orang tuanya dibatalkan, orang tua tersebut menjalin hubungan informal dengan anak-anaknya dalam hal ḥaḍᾱnah dan nafkah.
Skripsi, “Pengaruh Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Hukum Anak Dalam Kompilasi Hukum Islam”,[21] dalam skripsi ini dibahas mengenai ketentuan aturan pembatalan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, berkaitan dengan status anak dari perkawinan yang dibatalkan tersebut. Lebih spesifik lagi terhadap ketentuan KHI tentang sebab-sebab pembatalan perkawinan yang diikuti oleh niat pelaku dalam melakukan pelanggaran perkawinan sehingga perkawinan yang telah dilakukan dianggap tidak sah oleh hukum syara’. Sedangkan aturan KHI tentang pembatalan perkawinan tidak menyatakan tentang unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terikat dalam perkawinan, padahal hal ini berpengaruh terhadap hubungan yang dilakukan oleh suami isteri dan terhadap anak (apabila telah ada) dalam perkawinan tersebut. Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan pendekatan yuridis, yang berdasarkan perundang-undangan dan pendekatan normatif, yang mengkaji permasalahan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis, pendapat-pendapat ulama, serta norma-norma hukum yang berlaku sebelumnya. Adapun kesimpulan akhir yang didapatkan dari penelitian ini adalah: ketentuan pembatalan perkawinan dalam KHI tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, hal ini berdasarkan pada kemaslahatan anak itu sendiri yang tidak sepantasnya menanggung beban kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Meskipun pada dasarnya anak tersebut bukan anak syubhat, prinsip-prinsip syariah sama-sama menganjurkan tidak diperkenankan menjatuhkan keputusan terhadap anak manusia yang lahir dari benih mereka sebagai anak zina (anak haram), sepanjang terbuka kemungkinan untuk menempatkan anak tersebut sebagai anak syubhat.
Dari beberapa penelitian terdahulu sebagaimana disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa: Pertama, pembahasan permasalahan incest yang ada adalah hubungan incest yang ada di luar perkawinan, dan pembahasannya lebih dikhususkan  pada permasalahan kewarisan. Kedua, dari beberapa penelitian yang membahas mengenai status anak masih bersifat umum, seperti skripsi yang berjudul “Pengaruh Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Hukum Anak dalam Kompilasi Hukum Islam” atau skripsi dengan judul “Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Antara Pasangan Suami-Isteri Yang Dilarang Menikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/PDT.G/1996/PA.YK) meskipun keduanya memiliki kesamaan dengan skripsi yang sedang disusun, yakni terkait status anak, namun dalam beberapa skripsi yang membahas incest belum spesifik membahas mengenai “Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Incest Perspektif Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia”. Untuk itu sudah cukup memenuhi persyaratan yang ada jika penyusun ingin mengangkat tema ini dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berupa skripsi karena tema yang diangkat berbeda dengan tema penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya.

E.     Kerangka Teoretik

Perkawinan merupakan suatu ibadah yang mempunyai beberapa manfaat atau hikmah yang terkandung di dalamnya. Prof. Khoiruddin Nasution[22] menggunakan kata tujuan sebagai kata lain dari hikmah perkawinan. Setidaknya ada lima tujuan perkawinan yang dapat disimpulkan dari nash-nash yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadis, yakni: (1) memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa rahmah), sebagai tujuan pokok dan utama, yang kemudian tujuan-tujuan: (2) tujuan reproduksi (penerusan generasi), (3) pemenuhan kebutuhan biologis (seks), (4) menjaga kehormatan, dan (5) Ibadah.
Allah SWT telah memuliakan manusia dan mendidiknya dengan akhlak, mengangkat derajat manusia dari kehidupan yang hewani dengan mengatur kehidupannya, dan mengatur hubungan antara laki-laki dengan perempuan: istri, ibu, saudara, dan anak, dan Allah SWT menjelaskan apa yang halal dan apa yang haram dari perempuan-perempuan tersebut. Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan kepada manusia perempuan-perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya (mahram Muabbad) dari tiga sebab: Nasab, persusuan, dan pernikahan.[23] Hal tersebut dapat dilihat dalam firman Allah SWT;
حرّمت عليكم أمّهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعمّاتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت وأمّهاتكم اللآتى أرضعنكم وأخواتكم من الرّضاعة وأمّهات نسآئكم وربآئبكم اللآتى في حجوركم من نسآئكم اللآتى دخلتم بهنّ........ [24]
Terkait permasalahan mahram, Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengaturnya dalam bab syarat-syarat perkawinan[25] yang isinya tidak jauh berbeda dengan kandungan ayat di atas begitu juga dengan KHI, yang mengatur tentang mahram muabbad dalam bab VI “Larangan Kawin”.
Ketentuan yang dibuat kadang pada prakteknya di lapangan berbeda dengan apa yang seharusnya dijalankan. Begitu juga dengan perkawinan, meskipun hukum agama maupun hukum positif dalam hal ini perundang-undangan perkawinan telah mengatur sedemikian rupa mengenai tata cara dan sahnya perkawinan, tidak lantas menutup kemungkinan adanya penyimpangan-penyimpangan norma tersebut. Kemungkinan terjadinya perkawinan yang terlarang dapat saja terjadi di masyarakat, tidak terkecuali perkawinan incest. Perkawinan semacam ini jika telah terjadi maka harus dibatalkan. Dalam Undang-undang Perkawinan[26] dan Kompilasi Hukum Islam[27] pembatalan perkawinan juga diatur sedemikian rupa. Perlu digaris bawahi bahwa putusan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.[28]
Anak dalam Islam adalah sebagai penerus keturunan yang akan mewarisi semua yang dimiliki oleh orang tuanya. Islam juga memerintahkan menjaga kesucian keturunan mereka, karena mereka adalah khalifah di muka bumi. Kedudukan anak dalam Islam sangatlah penting, bagaimana hubungan nasab atau hubungan darah antara anak dan orang tua adalah hubungan keperdataan yang paling kuat yang tidak bisa diganggu gugat dan dibatasi oleh apapun. Oleh karena itu diperlukan kejelasan nasab seorang anak karena akan membawa akibat hukum pada anak tersebut yang juga menyangkut hak dan kewajiban yang diperoleh dan harus dilaksanakan karena mempunyai kekuatan hukum yang sah.
Dalam syari’at Islam anak secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu:
                                   1.       Anak Syar’i yaitu anak yang mempunyai hubungan nasab (secara hukum) dengan orang tua laki-lakinya.
                                   2.       Anak Tabi’i yaitu anak yang tidak mempunyai hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya.[29]
Sedangkan lebih spesifik dalam Islam pembagian status anak dapat dikelompokkan menjadi enam, yakni:[30] (1) Anak Kandung, (2) Anak Angkat, (3) Anak Susu, (4) Anak Pungut, (5) Anak Tiri, (6) Anak Zina.
Islam sangat menghargai anak yang lahir di dunia ini, dalam hal ini disebutkan bahwa anak yang lahir di dunia ini pada dasarnya adalah suci, seperti disebutkan dalam hadis:
كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فأبواه يهودانه او ينصرانه اويمجسانه[31]
Anak yang merupakan generasi penerus bangsa juga tidak luput dari perhatian pemerintah. Semakin kompleksnya permasalahan anak menuntut pemerintah untuk mengatur hal tersebut dalam sebuah peraturan perundang-undangan di Indonesia, salah satunya tercermin dalam UU No. 23 Tahun 2002[32] yang dibentuk guna melindungi anak dari segala macam bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak lainnya.
Kedudukan anak dalam Undang-undang Perkawinan maupun KHI di bedakan menjadi dua kelompok yang berpengaruh terhadap status dan hak-hak yang melekat bagi anak tersebut. Kedudukan yang dimaksud yakni: (1) Anak sah, dan (2) Anak luar kawin.
Menjadikan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pijakan dalam menganalisis kedudukan anak hasil perkawinan incest sangatlah diperlukan. Departemen penerangan RI dalam penerbitan buku Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, menulis:[33]
“.......satu-satunya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip serta memberikan landasan terhadap berbagai hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku serta hidup di berbagai golongan masyarakat.
Negara kita berlandaskan falsafah Pancasila dan Undang-undang 1945, maka Undang-undang Perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya dan di lain pihak dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Di samping itu, Undang-undang Perkawinan ini telah menampung pula unsur-unsur dan ketentuan Hukum Agama dan Kepercayaan serta asas-asas mengenai perkawinan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.”
Pada dasarnya sebagai hukum materiil UU No. 1 Tahun 1974 telah mengandung aturan hukum materiil bidang perkawinan, namun aturan yang terkandung masih bersifat pokok yang perlu dijelaskan lebih lanjut. KHI sebagai salah satu sarana hukum yang dijadikan rujukan oleh hakim-hakim Pengadilan Agama juga mempunyai posisi yang signifikan guna menganalisis permasalahan kedudukan anak hasil perkawinan incest.
Terkait dengan kedudukan anak hasil perkawinan incest diperlukan dua sumber hukum di atas untuk menetapkan kedudukan anak tersebut sehingga anak hasil perkawinan incest yang notabene tidak bersalah ataupun menanggung dosa dari kedua orang tuanya mendapatkan status yang sesuai dengan prinsip kemaslahatan dan keadilan.

F.     Metode Penelitian

Untuk mempermudah dalam menganalisa data-data yang diperoleh maka diperlukan beberapa metode yang dipandang relevan dan mendukung penyusunan skripsi ini adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
                          1.       Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu suatu penelitian dengan cara menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, dan menjadikan data yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis.[34]
                          2.       Sifat penelitian
Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif-analitis,[35] maksudnya mengembangkan data-data yang ada dengan menggambarkan secara komprehensif sesuai dengan pokok bahasan yang dilakukan secara mendetail dan kritis terhadap data-data tersebut.
                          3.       Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.[36]
                          4.       Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengelompokkan literatur-literatur dalam kategori yang berhubungan dengan pembahasan, dalam hal ini sumber utama (data primer) adalah al-Qur’an dan al-Hadis, Undang-undang yang meliputi Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Perlindungan Anak. Di samping itu, juga menggunakan data-data sekunder, baik yang terdapat dalam buku-buku, maupun kitab-kitab yang terkait, misalnya: Fikih Sunnah,[37] Masalah Anak dalam Hukum Islam,[38] Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga,[39] Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang,[40] Fiqh Munakahat,[41] Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap,[42] Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,[43] Intisari Psikologi Abnormal,[44] Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual,[45] Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam.[46]
                          5.       Analisis data
Data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis, dalam hal ini data yang berkaitan dengan permasalahan digambarkan terlebih dahulu untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan yang ditentukan, adapun metode penalaran yang digunakan sebagaimana berikut:


a.    Metode deduktif
Deduktif adalah cara menganalisa masalah dengan menampilkan pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.
b.    Metode Induktif
Penalaran induktif yang dimaksud adalah penalaran yang berangkat dari norma-norma yang khusus yang digeneralisasi untuk ditarik asas atau doktrin umum hukum.[47]

G.    Sistematika Pembahasan

Demi mempermudah pembahasan dan pemahaman terhadap permasalahan yang diangkat, maka pembahasan dalam skripsi ini disususn dalam secara sistematis sesuai tata urutan pembahasan dari permasalahan yang muncul. Seluruh pembahasan akan dijabarkan dalam lima bab sebagai berikut:
Bab pertama: merupakan pendahuluan terdiri dari: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan, yang merupakan gambaran secara keseluruhan mengenai materi kajian. Penjelasan mengenai hal-hal tersebut penting untuk mempertegas visi, arah, dan tujuan penelitian ini.
Bab kedua: perbincangan diarahkan pada tinjauan umum tentang perkawinan incest dan status hukumnya yang meliputi: pengertian perkawinan incest dan status hukumnya, faktor-faktor yang melatar belakangi perkawinan incest, macam-macam perkawinan incest, serta akibat pelaksanaan perkawinan incest. Hal ini dirasa penting untuk memberikan gambaran awal terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Bab ketiga: pembahasan di bab ini fokus pada kedudukan anak, dalam bab ini kedudukan anak di petakan menjadi dua yakni: kedudukan anak menurut hukum Islam dan kedudukan anak menurut perundang-undangan di Indonesia. Perundang-undangan yang dimaksud dalam sub bab ini adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, serta UU No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pencantuman kedudukan anak dalam hukum Islam dan UU Perlindungan Anak tidak bisa dikesampingkan karena bagaimanapun juga keduanya berkaitan dengan perundang-undangan bidang perkawinan.
Bab keempat: adalah bab inti yang merupakan analisis kedudukan anak hasil perkawinan incest dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia. Ada dua sub bab yang akan dikemukakan dalam bab ini, yakni: status hukum anak hasil perkawinan incest dan kedudukan nasab, nafkah, haḍȃnah, serta hak waris anak hasil perkawinan incest.
Dan pada bab kelima sebagai bab terakhir, penutup berisi kesimpulan dan saran-saran dengan menyikapi seobyektif mungkin dengan landasan Hukum Perkawinan Indonesia serta Hukum Islam, sehingga mendapatkan jalan yang terbaik dalam memecahkan permasalahan kedudukan anak hasil perkawinan incest. Dengan berlandaskan hukum dan realitas yang terjadi dalam masyarakat penelitian ini menawarkan saran-saran kepada berbagai pihak yang berkepentingan dalam persoalan ini.


[1] Djaman Nur, Fiqh Munakahat, cet. ke-1, (Semarang: CV. Thoha Putra, 1993), hlm. 5.
[2] Aż-Żȃriyȃt (51): 49.
[3] Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. Ke-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 1.
[4] Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta ACAdeMIA & TAZAFFA, 2004), hlm. 37.
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 220.
[6] Pelita, 26 September 1978, hlm. 1, dalam M. Shaheb Tahar, Inseminasi Buatan Menurut Hukum Islam, cet. ke-1, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm.67.
[7] “Hubungan Sedarah,” http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_sedarah, diakses pada tanggal 8 Desember 2011.
[8] Martiman Prodjohamidjojo,  Hukum Perkawinan Indonesia. (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), hlm. 28.
[9] “Hubungan Sedarah,” http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_sedarah, diakses pada tanggal 8 Desember 2011.
[10] Dinas Sosial Provinsi DIY, Perlindungan Anak Oleh Negara Dan Proses Pengangkatan Anak, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional dan Rakernas FK-MASI, (Yogyakarta: 2005), hlm. 1.
[11] WJS. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 38.
[12] Al-Furqȃn (25): 54.
[13]  Fȃṭir (35): 18.
[14] K.U.H. Perdata Pasal 31 yang berbunyi: “ Anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya-berdasarkan ketentuan undang-undang, ada larangan untuk saling menikah.
[15] UU No. 1 tahun 1974 Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi: “Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
[16] J. Sastro, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005).
[17] Endang Sumiarni dan Chandera Halim, Perlindungan Hukum Terhadap anak dalam Hukum Keluarga, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2000).
[18] Isyarotul Aula,”Kedudukan Anak Hasil Hubungan Incest Dalam Kewarisan Islam”, skripsi tidak diterbitkan,  Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003).
[19] Ahmad Fuad, “Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam Perspektif Hukum Islam”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009).
[20] Akhmad Sahrullah Fadli, “Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Antara Pasangan Suami-Isteri Yang Dilarang Menikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/Pdt.G/1996/Pa.Yk)”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2007).
[21] Rivolina, “Pengaruh Pembatalan Perkawinan Terhadap Status Hukum Anak dalam Kompilasi Hukum Islam”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004).
[22] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, hlm. 37.
[23] Muhammad Mukhtar asy-Syinqiṭî, Syarah ŻAd al-Mustaqni, hlm. 275. Dalam Muhammad Kholis, “Mahram Anak Zina dan Akibat Hukumnya Menurut Mażhab Syafi’î dan Hanbalî”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga (2011), hlm. 11.
[24] An-Nisȃ’ (4) : 23.
[25] UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 yang berbunyi: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: (a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; (b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; (c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; (d) berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susun, saudara susuan, dan bibi/paman susuan; (e) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi/kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.” Lihat juga KHI Pasal 39.
[26]  Lihat UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.” terkait syarat-syarat yang dimaksud sebelumnya telah disebutkan dalam UU No. Tahun 1974  Pasal 8.
[27] KHI Pasal 70 huruf (d) yang berbunyi: “Perkawinan batal apabila: perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang N0. 1 tahun 1974, yaitu: (1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; (2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; (3) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; (4) berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susun, saudara susuan, dan bibi/paman susuan”.
[28] UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 ayat (2) dan KHI Pasal 75 yang berbunyi: “Keputusan  tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut”.
[29] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), VII, hlm. 698.
[30] Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam; Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 26.
[31] Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthî, al-Jami’ al-ṣaghîr,  (Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, 1967), II,  235. HR. Bukhari dari Abu Ya’la al-Tabarani dari al-Baihaqi dari al-Aswad Ibnu Sari’.
[32] UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 2 yang berbunyi: “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : (a) non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak”. Dan pasal 4: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
[33] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 118-119.
[34] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 43.
[35] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet. ke 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 245.
[36] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-2 (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 57.
[37] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Moh. Thalib, cet. ke-5, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987).
[38] Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam; Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991).
[39] Endang Sumiarni, dan Chandera Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga.
[40] J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang.
[41] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan  Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, alih bahasa Abdul Majid Khon, cet. ke-1, (Jakarta: Amzah, 2009).
[42]  Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, cet. ke-2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
[43] Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. ke-1, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1976).
[44] V. Mark Durand dan David H. Barlow, Intisari Psikologi Abnormal, alih bahasa Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
[45]  Kartini kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, cet. ke-7, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009).
[46] Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001).
[47] Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999), hlm. 9.

1 komentar: