A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi Sunatullah bahwa
segala makhluk yang hidup di muka bumi ini diciptakan oleh Allah SWT untuk
hidup berpasang-pasangan. Hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk
termasuk manusia, oleh karena itu semua makhluk Tuhan baik hewan, tumbuhan dan
manusia dalam hidupnya ada perkawinan.[1]
Allah SWT berfirman:
Manusia adalah makhluk yang paling mulia di muka bumi ini, sehingga Allah
SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan hubungannya antara jantan dan betina secara anarkhi dan tidak ada
aturan yang mengaturnya. Demi menjaga martabat kemuliaan manusia, Allah SWT
menurunkan hukum sesuai dengan martabat kemuliaan manusia, karenanya dalam
hubungan lawan jenis antar manusia pun diatur sedemikian rupa dengan jalan
perkawinan manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya.
Perkawinan merupakan suatu akad
yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
melakukan persetubuhan (الوطء) sekaligus
sebagai ikatan lahir batin untuk hidup bersama secara sah untuk membentuk keluarga
yang kekal, tentram dan bahagia.[3]
Selain itu perkawinan bertujuan untuk memperoleh keturunan
(reproduksi/regenerasi).[4]
Perkawinan dalam Islam diatur
sedemikian rupa, oleh karena itu perkawinan sering disebut sebagai perjanjian
suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga
bahagia. Perkawinan juga merupakan suatu ikatan, akad yang sangat kuat untuk
mentaati perintah Allah SWT sehingga melaksanakannya merupakan ibadah.
Salah satu tujuan syariah Islam (maqȃshid
asy-syarî’ah) sekaligus tujuan perkawinan adalah hifẓ an-nasl yakni
terpeliharanya kesucian keturunan manusia sebagai pemegang amanah khalîfah
fi al-arḍ. Tujuan syariah ini dapat dicapai melalui jalan perkawinan yang
sah menurut agama, diakui oleh undang-undang dan diterima sebagai bagian dari
budaya masyarakat.[5]
Dengan perkawinan yang sah menurut agama, pasangan suami istri tidak memiliki
beban kesalahan/dosa untuk hidup bersama, bahkan memperoleh berkah dan pahala.
Keyakinan ini sangat bermakna untuk membangun sebuah keluarga yang dilandasi
nilai-nilai moral agama. Di samping itu, institusi keluarga memperoleh
pengakuan dan diterima sebagai bagian dari masyarakat sehingga keluarga yang
demikian akan memperoleh perlindungan dari masyarakat, hidup berdampingan
berdasarkan tata aturan dan norma yang berlaku di masyarakat.
Seiring perkembangan peradaban
manusia yang semakin maju, masalah yang timbul dalam bidang hukum keluarga pun
ikut berkembang, tidak terkecuali masalah perkawinan. Meskipun hukum agama dan
perundang-undangan yang ada di Indonesia telah mengatur sedemikian rupa tentang
tata cara perkawinan sehingga akibat-akibat yang timbul dari ikatan perkawinan
dapat diakui di hadapan hukum, nyatanya masih banyak penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi di masyarakat. Salah satunya adalah perkawinan sedarah, perkawinan
sumbang atau dikenal dengan perkawinan incest atau ada pula yang
menyebut perkawinan dengan wanita yang tergolong muhrim dan dilarang untuk
dinikahi.
Praktek perkawinan sedarah atau
hubungan sumbang (Inggris: incest) bukan merupakan hal yang baru lagi.
Di Tel Aviv yang merupakan kota metropolis di Israel pernah terjadi perkawinan
dengan sesama saudara seayah. Hal ini terjadi akibat teknologi kedokteran yang
bernama inseminasi buatan dengan sperma donor. Sofwan Dahlan
menceritakan kejadian ini dan menulisnya dalam koran Pelita:
Sekalipun
hal ini kecil kemungkinannya, namun pernah terjadi di Tel Aviv, seorang remaja
yang kawin karena menginginkan kebahagiaan rumah tangga, tetapi yang mereka
dapatkan adalah kenyataan pahit, karena ternyata mereka berasal dari donor yang
sama. Harus ceraikah mereka menurut undang-undang?[6]
Di Indonesia sendiri sampai saat ini perilaku incest
masih ada pada kelompok masyarakat tertentu, seperti suku Polahi di Kabupaten
Polahi, Sulawesi, praktek hubungan incest banyak terjadi. Perkawinan
sesama saudara adalah hal yang wajar dan biasa di kalangan suku Polahi.[7]
Selain itu, beberapa jurisprudensi menunjukkan adanya praktek perkawinan
incest nyata terjadi di Indonesia, di antaranya Pengadilan
Agama Indramayu memfasidkan perkawinan antara seorang laki-laki yang mengawini
anak perempuan dari saudara perempuannya. Dengan putusan tanggal 6 Januari 1958
No. 5. Anehnya wali dan mempelai perempuan mengatakan bahwa mereka tidak tahu
kalau sang mempelai perempuan masih mempunyai hubungan darah dengan mempelai
pria.[8]
Selanjutnya adalah putusan
Pengadilan Agama Yogyakarta No. 216/P.dt.G/1996/PA.Yk yakni putusan pembatalan
perkawinan antara paman kandung dengan keponakannya yang semula menikah di KUA
kecamatan Tegalrejo Yogyakarta. Pernikahan ini terjadi akibat keluarga mempelai
tidak mengetahui adanya larangan perkawinan keduanya dan ketika petugas KUA
menanyakan ada tidaknya hubungan mahram kedua keluarga mempelai memaparkan
tidak ada.
Perkawinan incest
diketahui berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun
mental (cacat), atau bahkan letal
(mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat-dalam pada anak-anaknya.
Akumulasi gen-gen pembawa sifat lemah dari kedua tetua pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipenya berada dalam kondisi homozigot.[9]
Perkawinan incest
tidak dikehendaki pada hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang perkawinan incest.
Di dalam aturan agama Islam (fikih), misalnya, dikenal konsep mahram yang mengatur hubungan sosial di antara
individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak diperkenankan
menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau
nenek, saudara kandung, saudara tiri (bukan saudara angkat), saudara dari orang tua,
kemenakan, serta cucu.
Terlepas dari polemik
perkawinan incest di atas, perlu mendapatkan perhatian adalah anak yang
lahir akibat perkawinan tersebut. Pada dasarnya tidak ada seorang pun ketika
terlahir di dunia telah memiliki dosa dan tidak ada dosa turunan. Secara
biologis tidak ada seorang pun anak terlahir tanpa memiliki bapak. Mengenai
beragamnya penyebutan terhadap status anak sendiri hendaknya harus disikapi
dengan bijak.
Anak merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus yang diharapkan dapat menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa
depan. Oleh karena itu, anak punya hak untuk mendapatklan kesempatan
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik,
mental, maupun sosial dan mempunyai akhlak yang mulia karena sejak dalam kandunganpun
mereka punya hak untuk hidup.[10]
Anak adalah amanah dan karunia Allah Yang Maha Kuasa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.[11]
Selain itu hubungan nasab antar
orang tua dan anaknya adalah hubungan keperdataan yang paling kuat dan tidak
dapat diganggu gugat oleh hubungan lain dari manapun. Bahkan hubungan itu dalam
pandangan agama dimungkinkan berlangsung sampai ke luar batas kehidupan dunia
nasabnya. Secara moral anak shalih merasa berkepentingan menyertakan do’a untuk
kedua orang tuanya di akhirat. Allah SWT melukiskan kedekatan hubungan ini
seperti dalam al-Qur’an.
وهو الذي خلق من الماء بشرا فجعله نسبا وصهرا
وكان ربك قديرا [12]
Anak
merupakan salah satu obyek bahasan hukum syara’,
tanpa kecuali melalui proses seperti apa dirinya dilahirkan di dunia. Islam
sangat menjunjung tinggi kehormatan umatnya, sehingga dalam syariat Islam tidak
mengenal adanya dosa turunan. Bahkan Allah SWT tidak membebankan dosa yang
dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, sebagaimana firman Allah SWT:
ولاتزر وازرة وزر أخرى وإن تدع مثقلة إلى حملها
لا يحمل منه شيء ولو كان ذا قربى[13]
Dalam perundang-undangan
perkawinan di Indonesia baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 ataupun dalam Inpres No.
1 Tahun 1991 tidak menyebutkan dengan jelas terkait kedudukan anak hasil
perkawinan incest atau anak sumbang. Penyebutan anak sumbang dapat
ditemui dalam pasal 31 K.U.H. Perdata.[14]
UU No. 1 Tahun 1974, KHI, ataupun K.U.H.Perdata tidak mengatur secara detail
tentang kedudukan anak hasil perkawinan Incest. Di dalam Pasal 43 ayat
(2) UU No. 1 Tahun 1974 meskipun disebutkan akan dijelaskan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah terkait kedudukan anak namun sampai sekarang Peraturan
Pemerintah yang dinantikan tidak kunjung dibentuk oleh pemerintah.[15]
Berdasarkan realitas di atas,
maka sudah sepatutnya dibutuhkan pembahasan yang lebih mendalam dalam
menganalisis kedudukan anak hasil perkawinan incest dalam
perundang-undangan perkawinan Indonesia untuk mengetahui sejauh mana status atau
kedudukan anak tersebut di hadapan hukum yang berlaku di negara ini. Sehingga
hak-hak anak tersebut dapat diperjuangkan sebagaimana yang seharusnya dia
terima. Tentu saja pembahasan ini tidak mengesampingkan perundang-undangan lain
yang terkait dengan hukum perkawinan Indonesia, seperti: Undang-undang
Perlindungan Anak dan pandangan hukum Islam sebagai salah satu hukum yang juga
berlaku dalam Masyarakat Indonesia.
B. Pokok Masalah
1.
Bagaimana kedudukan anak hasil
perkawinan Incest perspektif Peraturan Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia?
2.
Bagaimanakah akibat hukum yang
ditimbulkan terhadap kedudukan anak hasil perkawinan incest?
C. Tujuan dan Kegunaan
1.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang
dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
a.
Untuk menjelaskan kedudukan anak
hasil perkawinan incest dalam perspektif Peraturan Perundang-undangan
Perkawinan Indonesia.
b.
Untuk menjelaskan akibat hukum
yang ditimbulkan dari penetapan kedudukan anak hasil perkawinan incest.
2.
Kegunaan
a.
Secara Teoritis Keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat
memperluas wawasan di bidang hukum dan memberikan sumbangan pemikiran yang
berarti bagi khasanah ilmu pengetahuan hukum keluarga Indonesia, terutama yang berkaitan dengan
kedudukan anak hasil perkawinan incest, baik yang dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak sengaja, serta bermanfaat bagi peneliti yang ingin
melakukan penelitian lebih mendalam terkait problematika perkawinan incest.
b.
Secara Pragmatis
Penelitian ini diharapkan
memberikan masukan dan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan
hukum keluarga terkait kedudukan anak hasil perkawinan incest.
D. Telaah Pustaka
Untuk
meletakkan penelitian ini di antara penelitian yang telah dilakukan, dan agar
lebih fokus serta terarah, dirasa perlu untuk melakukan telaah pustaka.
Buku Hukum Keluarga Tentang
Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang[16] karya
J. Sastro yang di dalamnya menjelaskan perspektif Undang-undang tentang
siapakah anak sah, siapa anak tidak sah, apa yang menjadi patokannya, anak
tidak sah mana yang bisa diakui secara sah, bagaimana cara mengakuinya, dan
bagaimana anak tidak sah dapat disahkan, selain itu buku ini juga membahas
mengenai masalah adopsi. Adapun Undang-undang yang dimaksud dalam pembahasan
buku ini difokuskan pada K.U.H.Perdata.
Buku Perlindungan Hukum
Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga[17] yang
merupakan kumpulan peraturan tentang perlindungan anak terutama dalam bidang
Hukum Keluarga. Buku ini berisi setidaknya dua puluh dua peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia tentang perlindungan anak, di samping
itu buku ini ini juga membahas mengenai perlindungan anak dalam hukum adat
Indonesia. Kelemahannya buku ini tidak lain hanya berupa peraturan-peraturan
yang dibukkukan tanpa ada telaah analisis maupun penjelasan dari peraturan yang
ada.
Skripsi dengan judul “Kedudukan
Anak Hasil Hubungan Incest Dalam Kewarisan Islam”. Skripsi ini menjelaskan
tentang kedudukan anak hasil hubungan incest dalam hukum Islam, dan
kedudukan anak hasil hubungan incest dalam kewarisan Islam. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian pustaka (library
research) dengan pendekatan deskriptif analitik.[18]
Kewarisan Anak Hasil Incest Dalam
Perspektif Hukum Islam,[19]
dalam skripsi ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan skripsi sebelumnya,
yakni menjelaskan tentang hak kewarisan anak hasil hubungan incest di
luar institusi perkawinan perspektif hukum Islam yang menyoroti permasalahan
kedudukan anak tersebut atau status anak tersebut dalam hukum Islam serta kewarisan anak hasil hubungan incest dalam
kacamata hukum Islam. Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini
adalah metode penelitian pustaka (library research), dengan sifat
penelitiannya adalah deskriptik analitik.
“Status Anak Akibat Pembatalan
Perkawinan Antara Pasangan Suami-Isteri Yang Dilarang Menikah (Studi Putusan
Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/Pdt.G/1996/Pa.Yk)”[20]
dalam pembahasannya penulis menjelaskan kajian tentang status anak dari
pernikahan yang dibatalkan oleh Pengadilan Agama Yogyakarta akibat adanya
penghalang pernikahan antara kedua orangtuanya. Pada dasarnya dalam putusan ini
tidak disertakan status anak yang dihasilkan dari perkawinan yang dibatalkan
karena hal tersebut tidak tercantum dalam gugatan. Bentuk penelitian yang
digunakan adalah penelitian lapangan dan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis-normatif dengan cara menganalisis
kasus dari aspek hukum positif dan hukum Islam. Penelitian yang dilakukan
menghasilkan data yang dapat disimpulkan sebagaimana berikut: (1) bahwa putusan
pembatalan perkawinan Nomor 216/Pdt.G/1996/PA.Yk di Pengadilan Agama Yogyakarta
telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan ketetapan syara’,
(2) bahwa anak pertama (laki-laki) yang lahir di luar perkawinan yang sah
secara hukum Islam dianggap sebagai anak tidak sah dan dalam hukum positif
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya, mengenai
hak ḥaḍᾱnah, hak kewarisan, hak nafkah, serta hak wali nikah secara otomatis ada pada ibunya dan keluarga
ibunya. Begitu juga dengan anak kedua (perempuan) tetap sebagai anak tidak sah
karena dalam hukum Islam hubungan nasab menjadi penyebab perkawinan batal demi
hukum. Sehingga hubungan nasab ada pada ibunya dan keluarga ibunya. Akan
tetapi, tidak menutup kemungkinan setelah perkawinan orang tuanya dibatalkan,
orang tua tersebut menjalin hubungan informal dengan anak-anaknya dalam hal ḥaḍᾱnah
dan nafkah.
Skripsi, “Pengaruh Pembatalan
Perkawinan Terhadap Status Hukum Anak Dalam Kompilasi Hukum Islam”,[21]
dalam skripsi ini dibahas mengenai ketentuan aturan pembatalan perkawinan dalam
Kompilasi Hukum Islam, berkaitan dengan status anak dari perkawinan yang
dibatalkan tersebut. Lebih spesifik lagi terhadap ketentuan KHI tentang
sebab-sebab pembatalan perkawinan yang diikuti oleh niat pelaku dalam melakukan
pelanggaran perkawinan sehingga perkawinan yang telah dilakukan dianggap tidak
sah oleh hukum syara’. Sedangkan aturan KHI tentang pembatalan perkawinan tidak
menyatakan tentang unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
terikat dalam perkawinan, padahal hal ini berpengaruh terhadap hubungan yang
dilakukan oleh suami isteri dan terhadap anak (apabila telah ada) dalam
perkawinan tersebut. Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian
kepustakaan (library research), dengan menggunakan pendekatan yuridis,
yang berdasarkan perundang-undangan dan pendekatan normatif, yang mengkaji
permasalahan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis, pendapat-pendapat ulama, serta
norma-norma hukum yang berlaku sebelumnya. Adapun kesimpulan akhir yang
didapatkan dari penelitian ini adalah: ketentuan pembatalan perkawinan dalam
KHI tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut,
hal ini berdasarkan pada kemaslahatan anak itu sendiri yang tidak sepantasnya
menanggung beban kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Meskipun
pada dasarnya anak tersebut bukan anak syubhat, prinsip-prinsip syariah
sama-sama menganjurkan tidak diperkenankan menjatuhkan keputusan terhadap anak
manusia yang lahir dari benih mereka sebagai anak zina (anak haram), sepanjang
terbuka kemungkinan untuk menempatkan anak tersebut sebagai anak syubhat.
Dari beberapa penelitian
terdahulu sebagaimana disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
pembahasan permasalahan incest yang ada adalah hubungan incest
yang ada di luar perkawinan, dan pembahasannya lebih dikhususkan pada permasalahan kewarisan. Kedua,
dari beberapa penelitian yang membahas mengenai status anak masih bersifat
umum, seperti skripsi yang berjudul “Pengaruh Pembatalan Perkawinan Terhadap
Status Hukum Anak dalam Kompilasi Hukum Islam” atau skripsi dengan judul “Status
Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Antara Pasangan Suami-Isteri Yang Dilarang
Menikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/PDT.G/1996/PA.YK) meskipun
keduanya memiliki kesamaan dengan skripsi yang sedang disusun, yakni terkait
status anak, namun dalam beberapa skripsi yang membahas incest belum
spesifik membahas mengenai “Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Incest
Perspektif Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia”. Untuk itu sudah cukup
memenuhi persyaratan yang ada jika penyusun ingin mengangkat tema ini dalam
sebuah karya tulis ilmiah yang berupa skripsi karena tema yang diangkat berbeda
dengan tema penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya.
E. Kerangka Teoretik
Perkawinan
merupakan suatu ibadah yang mempunyai beberapa manfaat atau hikmah yang
terkandung di dalamnya. Prof. Khoiruddin Nasution[22]
menggunakan kata tujuan sebagai kata lain dari hikmah perkawinan. Setidaknya
ada lima tujuan perkawinan yang dapat disimpulkan dari nash-nash yang terdapat
dalam al-Qur’an maupun Hadis, yakni: (1) memperoleh ketenangan hidup yang penuh
cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa rahmah), sebagai tujuan
pokok dan utama, yang kemudian tujuan-tujuan: (2) tujuan reproduksi (penerusan
generasi), (3) pemenuhan kebutuhan biologis (seks), (4) menjaga kehormatan, dan
(5) Ibadah.
Allah SWT telah memuliakan
manusia dan mendidiknya dengan akhlak, mengangkat derajat manusia dari
kehidupan yang hewani dengan mengatur kehidupannya, dan mengatur hubungan
antara laki-laki dengan perempuan: istri, ibu, saudara, dan anak, dan Allah SWT
menjelaskan apa yang halal dan apa yang haram dari perempuan-perempuan
tersebut. Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan kepada manusia
perempuan-perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya (mahram Muabbad)
dari tiga sebab: Nasab, persusuan, dan pernikahan.[23]
Hal tersebut dapat dilihat dalam firman Allah SWT;
حرّمت عليكم أمّهاتكم وبناتكم وأخواتكم
وعمّاتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت وأمّهاتكم اللآتى أرضعنكم وأخواتكم من
الرّضاعة وأمّهات نسآئكم وربآئبكم اللآتى في حجوركم من نسآئكم اللآتى دخلتم بهنّ........ [24]
Terkait
permasalahan mahram, Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengaturnya
dalam bab syarat-syarat perkawinan[25]
yang isinya tidak jauh berbeda dengan kandungan ayat di atas begitu juga dengan
KHI, yang mengatur tentang mahram muabbad dalam bab VI “Larangan Kawin”.
Ketentuan yang dibuat kadang pada
prakteknya di lapangan berbeda dengan apa yang seharusnya dijalankan. Begitu
juga dengan perkawinan, meskipun hukum agama maupun hukum positif dalam hal ini
perundang-undangan perkawinan telah mengatur sedemikian rupa mengenai tata cara
dan sahnya perkawinan, tidak lantas menutup kemungkinan adanya
penyimpangan-penyimpangan norma tersebut. Kemungkinan terjadinya perkawinan
yang terlarang dapat saja terjadi di masyarakat, tidak terkecuali perkawinan incest.
Perkawinan semacam ini jika telah terjadi maka harus dibatalkan. Dalam
Undang-undang Perkawinan[26]
dan Kompilasi Hukum Islam[27]
pembatalan perkawinan juga diatur sedemikian rupa. Perlu digaris bawahi bahwa
putusan pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut bagi anak-anak yang
lahir dari perkawinan tersebut.[28]
Anak dalam Islam adalah sebagai
penerus keturunan yang akan mewarisi semua yang dimiliki oleh orang tuanya.
Islam juga memerintahkan menjaga kesucian keturunan mereka, karena mereka
adalah khalifah di muka bumi. Kedudukan anak dalam Islam sangatlah penting,
bagaimana hubungan nasab atau hubungan darah antara anak dan orang tua adalah
hubungan keperdataan yang paling kuat yang tidak bisa diganggu gugat dan
dibatasi oleh apapun. Oleh karena itu diperlukan kejelasan nasab seorang anak
karena akan membawa akibat hukum pada anak tersebut yang juga menyangkut hak
dan kewajiban yang diperoleh dan harus dilaksanakan karena mempunyai kekuatan
hukum yang sah.
Dalam syari’at Islam anak secara
garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu:
1.
Anak Syar’i yaitu anak
yang mempunyai hubungan nasab (secara hukum) dengan orang tua laki-lakinya.
Sedangkan lebih spesifik dalam
Islam pembagian status anak dapat dikelompokkan menjadi enam, yakni:[30]
(1) Anak Kandung, (2) Anak Angkat, (3) Anak Susu, (4) Anak Pungut, (5) Anak
Tiri, (6) Anak Zina.
Islam sangat menghargai anak yang
lahir di dunia ini, dalam hal ini disebutkan bahwa anak yang lahir di dunia ini
pada dasarnya adalah suci, seperti disebutkan dalam hadis:
Anak yang merupakan generasi penerus bangsa juga tidak luput dari
perhatian pemerintah. Semakin kompleksnya permasalahan anak menuntut pemerintah
untuk mengatur hal tersebut dalam sebuah peraturan perundang-undangan di
Indonesia, salah satunya tercermin dalam UU No. 23 Tahun 2002[32]
yang dibentuk guna melindungi anak dari segala macam bentuk diskriminasi dan
pelanggaran hak lainnya.
Kedudukan anak dalam Undang-undang Perkawinan maupun KHI di bedakan
menjadi dua kelompok yang berpengaruh terhadap status dan hak-hak yang melekat
bagi anak tersebut. Kedudukan yang dimaksud yakni: (1) Anak sah, dan (2) Anak
luar kawin.
Menjadikan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 sebagai pijakan dalam menganalisis kedudukan anak hasil perkawinan incest
sangatlah diperlukan. Departemen penerangan RI dalam penerbitan buku Undang-undang
No. 1/1974 tentang Perkawinan, menulis:[33]
“.......satu-satunya
Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip
serta memberikan landasan terhadap berbagai hukum perkawinan yang selama ini
menjadi pegangan dan telah berlaku serta hidup di berbagai golongan masyarakat.
Negara
kita berlandaskan falsafah Pancasila dan Undang-undang 1945, maka Undang-undang
Perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung di
dalamnya dan di lain pihak dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup
dalam masyarakat.
Di
samping itu, Undang-undang Perkawinan ini telah menampung pula unsur-unsur dan
ketentuan Hukum Agama dan Kepercayaan serta asas-asas mengenai perkawinan
sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.”
Pada dasarnya sebagai hukum materiil UU No. 1 Tahun
1974 telah mengandung aturan hukum materiil bidang perkawinan, namun aturan
yang terkandung masih bersifat pokok yang perlu dijelaskan lebih lanjut. KHI
sebagai salah satu sarana hukum yang dijadikan rujukan oleh hakim-hakim
Pengadilan Agama juga mempunyai posisi yang signifikan guna menganalisis
permasalahan kedudukan anak hasil perkawinan incest.
Terkait dengan kedudukan anak hasil perkawinan incest
diperlukan dua sumber hukum di atas untuk menetapkan kedudukan anak tersebut
sehingga anak hasil perkawinan incest yang notabene tidak bersalah
ataupun menanggung dosa dari kedua orang tuanya mendapatkan status yang sesuai
dengan prinsip kemaslahatan dan keadilan.
F. Metode Penelitian
Untuk mempermudah dalam
menganalisa data-data yang diperoleh maka diperlukan beberapa metode yang
dipandang relevan dan mendukung penyusunan skripsi ini adapun metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan dalam
penyusunan skripsi ini adalah termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (Library
Research) yaitu suatu penelitian dengan cara menuliskan, mengedit,
mengklasifikasikan, dan menjadikan data yang diperoleh dari berbagai sumber
tertulis.[34]
2.
Sifat penelitian
Dilihat dari sifatnya penelitian
ini termasuk dalam penelitian deskriptif-analitis,[35]
maksudnya mengembangkan data-data yang ada dengan menggambarkan secara
komprehensif sesuai dengan pokok bahasan yang dilakukan secara mendetail dan
kritis terhadap data-data tersebut.
3.
Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan
pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.[36]
4.
Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan
mengelompokkan literatur-literatur dalam kategori yang berhubungan dengan
pembahasan, dalam hal ini sumber utama (data primer) adalah al-Qur’an dan
al-Hadis, Undang-undang yang meliputi Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974, Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Perlindungan Anak. Di samping itu,
juga menggunakan data-data sekunder, baik yang terdapat dalam buku-buku, maupun
kitab-kitab yang terkait, misalnya: Fikih Sunnah,[37]
Masalah Anak dalam Hukum Islam,[38]
Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga,[39]
Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang,[40]
Fiqh Munakahat,[41]
Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap,[42]
Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,[43]
Intisari Psikologi Abnormal,[44]
Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual,[45]
Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam.[46]
5.
Analisis data
Data yang telah terkumpul akan
dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis, dalam
hal ini data yang berkaitan dengan permasalahan digambarkan terlebih dahulu
untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan yang ditentukan, adapun
metode penalaran yang digunakan sebagaimana berikut:
a.
Metode deduktif
Deduktif adalah cara menganalisa
masalah dengan menampilkan pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat khusus.
b.
Metode Induktif
Penalaran induktif yang dimaksud
adalah penalaran yang berangkat dari norma-norma yang khusus yang digeneralisasi
untuk ditarik asas atau doktrin umum hukum.[47]
G. Sistematika Pembahasan
Demi mempermudah pembahasan dan
pemahaman terhadap permasalahan yang diangkat, maka pembahasan dalam skripsi
ini disususn dalam secara sistematis sesuai tata urutan pembahasan dari
permasalahan yang muncul. Seluruh pembahasan akan dijabarkan dalam lima bab
sebagai berikut:
Bab pertama: merupakan
pendahuluan terdiri dari: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan
kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan, yang merupakan gambaran secara keseluruhan mengenai materi kajian.
Penjelasan mengenai hal-hal tersebut penting untuk mempertegas visi, arah, dan
tujuan penelitian ini.
Bab kedua: perbincangan diarahkan
pada tinjauan umum tentang perkawinan incest dan status hukumnya yang
meliputi: pengertian perkawinan incest dan status hukumnya,
faktor-faktor yang melatar belakangi perkawinan incest, macam-macam perkawinan
incest, serta akibat pelaksanaan perkawinan incest. Hal ini dirasa
penting untuk memberikan gambaran awal terkait permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini.
Bab ketiga: pembahasan di bab ini
fokus pada kedudukan anak, dalam bab ini kedudukan anak di petakan menjadi dua
yakni: kedudukan anak menurut hukum Islam dan kedudukan anak menurut
perundang-undangan di Indonesia. Perundang-undangan yang dimaksud dalam sub bab
ini adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, serta UU No. 23
tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pencantuman kedudukan anak dalam hukum
Islam dan UU Perlindungan Anak tidak bisa dikesampingkan karena bagaimanapun
juga keduanya berkaitan dengan perundang-undangan bidang perkawinan.
Bab keempat: adalah bab inti yang
merupakan analisis kedudukan anak hasil perkawinan incest dalam
Perundang-undangan Perkawinan Indonesia. Ada dua sub bab yang akan dikemukakan
dalam bab ini, yakni: status hukum anak hasil perkawinan incest dan
kedudukan nasab, nafkah, haḍȃnah, serta hak waris anak hasil perkawinan incest.
Dan pada bab kelima sebagai bab
terakhir, penutup berisi kesimpulan dan saran-saran dengan menyikapi seobyektif
mungkin dengan landasan Hukum Perkawinan Indonesia serta Hukum Islam, sehingga
mendapatkan jalan yang terbaik dalam memecahkan permasalahan kedudukan anak
hasil perkawinan incest. Dengan berlandaskan hukum dan realitas yang terjadi
dalam masyarakat penelitian ini menawarkan saran-saran kepada berbagai pihak
yang berkepentingan dalam persoalan ini.
[1] Djaman Nur, Fiqh Munakahat, cet.
ke-1, (Semarang: CV. Thoha Putra, 1993), hlm. 5.
[2] Aż-Żȃriyȃt (51): 49.
[3] Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu
Analisis dari Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam, Cet. Ke-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 1.
[4] Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan 1,
(Yogyakarta ACAdeMIA & TAZAFFA, 2004), hlm. 37.
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
cet. ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 220.
[6] Pelita, 26 September 1978, hlm. 1,
dalam M. Shaheb Tahar, Inseminasi Buatan Menurut Hukum Islam, cet. ke-1,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm.67.
[7] “Hubungan Sedarah,” http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_sedarah, diakses pada tanggal 8 Desember 2011.
[8] Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia. (Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, 2002), hlm. 28.
[9] “Hubungan Sedarah,” http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_sedarah, diakses pada tanggal 8 Desember 2011.
[10] Dinas Sosial Provinsi DIY, Perlindungan
Anak Oleh Negara Dan Proses Pengangkatan Anak, Makalah Disampaikan Pada
Seminar Nasional dan Rakernas FK-MASI, (Yogyakarta: 2005), hlm. 1.
[11] WJS. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 38.
[12] Al-Furqȃn (25): 54.
[14] K.U.H. Perdata Pasal 31 yang berbunyi: “
Anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seseorang
laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya-berdasarkan ketentuan
undang-undang, ada larangan untuk saling menikah.
[15] UU No. 1 tahun 1974 Pasal 43 ayat (2) yang
berbunyi: “Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.”
[16] J. Sastro, Hukum Keluarga Tentang
Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2005).
[17] Endang Sumiarni dan Chandera Halim, Perlindungan
Hukum Terhadap anak dalam Hukum Keluarga, (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, 2000).
[18] Isyarotul Aula,”Kedudukan Anak Hasil
Hubungan Incest Dalam Kewarisan Islam”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2003).
[19] Ahmad Fuad, “Kewarisan Anak Hasil Incest
Dalam Perspektif Hukum Islam”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009).
[20] Akhmad Sahrullah Fadli, “Status Anak Akibat Pembatalan
Perkawinan Antara Pasangan Suami-Isteri Yang Dilarang Menikah (Studi Putusan
Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/Pdt.G/1996/Pa.Yk)”, skripsi
tidak diterbitkan, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2007).
[21] Rivolina, “Pengaruh Pembatalan Perkawinan
Terhadap Status Hukum Anak dalam Kompilasi Hukum Islam”, skripsi tidak
diterbitkan, Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004).
[22] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I,
hlm. 37.
[23] Muhammad Mukhtar asy-Syinqiṭî, Syarah ŻAd
al-Mustaqni, hlm. 275. Dalam Muhammad Kholis, “Mahram Anak Zina dan Akibat
Hukumnya Menurut Mażhab Syafi’î dan Hanbalî”, skripsi tidak diterbitkan,
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga (2011), hlm. 11.
[24] An-Nisȃ’ (4) : 23.
[25] UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 yang berbunyi:
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang: (a) berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; (b) berhubungan darah dalam garis
keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; (c) berhubungan semenda, yaitu
mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; (d) berhubungan sususan, yaitu
orang tua susuan, anak susun, saudara susuan, dan bibi/paman susuan; (e) berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi/kemenakan dari istri, dalam hal seorang
suami beristri lebih dari seorang; (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.” Lihat juga KHI Pasal 39.
[26] Lihat
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dibatalkan,
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.”
terkait syarat-syarat yang dimaksud sebelumnya telah disebutkan dalam UU No.
Tahun 1974 Pasal 8.
[27] KHI Pasal 70 huruf (d) yang berbunyi:
“Perkawinan batal apabila: perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang N0. 1 tahun 1974, yaitu: (1) berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; (2) berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; (3)
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; (4)
berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susun, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan”.
[28] UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 28 ayat (2) dan
KHI Pasal 75 yang berbunyi: “Keputusan
tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut”.
[29] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adilatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), VII, hlm. 698.
[30] Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam
Hukum Islam; Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, (Jakarta:
CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 26.
[31] Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar
As-Suyuthî, al-Jami’ al-ṣaghîr,
(Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, 1967), II, 235. HR. Bukhari dari Abu Ya’la al-Tabarani
dari al-Baihaqi dari al-Aswad Ibnu Sari’.
[32] UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 2 yang berbunyi: “Penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi
: (a) non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk
hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap
pendapat anak”. Dan pasal 4: “Setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
[33] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam
di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), hlm. 118-119.
[34] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Jakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 43.
[35] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek, cet. ke 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm.
245.
[36] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-2 (Malang: Bayumedia Publishing, 2006),
hlm. 57.
[37] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih
bahasa Moh. Thalib, cet. ke-5, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987).
[38] Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam
Hukum Islam; Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, (Jakarta:
CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991).
[39] Endang Sumiarni, dan Chandera Halim, Perlindungan
Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga.
[40] J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang
Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang.
[41] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
alih bahasa Abdul Majid Khon, cet. ke-1, (Jakarta: Amzah, 2009).
[42]
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, cet. ke-2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
[43] Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet. ke-1, (Yogyakarta:
Bina Cipta, 1976).
[44] V. Mark Durand dan David H. Barlow, Intisari
Psikologi Abnormal, alih bahasa Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini
Soetjipto, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
[45]
Kartini kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, cet.
ke-7, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009).
[46] Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks
Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2001).
[47] Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi
Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 1999), hlm. 9.
Hubungan incest sangat lazim di Iceland: Hubungan Seks Sedarah di Iceland
BalasHapus