laman

Senin, 14 November 2011

KRIMINALISASI PRAKTEK POLIGAMI DI INDONESIA


KRIMINALISASI PRAKTEK POLIGAMI DI INDONESIA
(Studi atas Pemikiran Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)[1]
Oleh:[2]
Anif Rahmawati
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Poligami[3] merupakan salah satu pembahasan penting yang mendapatkan perhatian khusus. Karena itu tidak mengherankan jika pembahasan masalah poligami diletakkan di awal surat An-Nisa’[4] sebagaimana bisa dilihat pada ayat ketiga[5] dan merupakan satu-satunya ayat dalam at-tanzil yang membicarakan masalah ini,[6] akan tetapi para mufasir dan para ahli fiqih, terkadang seringkali telah mengabaikan keterkaitan erat asbabun nuzul dengan kontek sosial historis serta sosiologis atas masalah poligami.
Beberapa pemikir muslim kontemporer, seperti Muhammad Abduh seorang ulama reformis dari Mesir berpendapat bahwa praktek poligami adalah suatu tindakan yang dilarang atau diharamkan jika tujuannya untuk kesenangan dan hanya pemenuhan kebutuhan seksual.[7] Sebab, jika manusia mempertuturkan hasrat biologis ini harkat manusia tidak berbeda dengan sikap binatang. Ia menyatakan juga bahwa perilaku poligami yang dipraktekan masyarakat Arab pra Islam lebih sering dilakukan sebagai simbol kekuatan dan kejantanan.[8]
Poligami mengandung pandangan yang kontroversial.[9] Poligami merupakan masalah problematik tersendiri, krusial dan kontroversial dalam masyarakat modern di berbagai negara khususnya Indonesia. Para fuqoha klasik Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa laki-laki boleh berpoligami secara mutlak tanpa persyaratan apapun. Bagi as-Syafi’i poligami diperbolehkan secara mutlak selama jumlahnya tidak melebihi empat orang, tidak menyinggung tentang keadilan maupun hak isteri terhadap suaminya kecuali penggiliran isteri-isteri, nafkah dan warisan. Ulama Hanafiah, berpendapat bahwa keadilan suami pada isteri lebih ditekankan pada masalah lahiriyah, seperti pembagian giliran, makanan, dan pergaulan. Akan tetapi suami tidak dituntut berlaku adil dalam hal yang berkaitan kepuasan psikis, misalnya dalam hubungan seks.
Dalam konteks Negara Indonesia, masalah poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 3 dari Undang-undang[10] tersebut bahwa pada prinsipnya asas perkawinan di Indonesia adalah monogami. Selanjutnya pasal 4 menyatakan bahwa pengadilan yang memutus boleh tidaknya seorang suami beristeri lebih dari satu, apabila memenuhi syarat tertentu. Izin poligami akan diberikan oleh pengadilan apabila:
1.    Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri
2.    Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.    Isteri tidak bisa memberikan keturunan
 Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, namun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.[11]
Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991.[12] Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami baru dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.[13] Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.[14]
Selain itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.[15]
Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah  sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau kurungan 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.  Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.
Dari beberapa argumen di atas, baik secara tekstual maupun kontekstual memiliki implikasi positif maupun negatif dalam kehidupan masyarakat, bagaimanapun juga diperlukan pembahasan yang lebih spesifik dalam melihat persoalan ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia yang bisa diawali dari individu, keluarga, dan masyarakat secara umum. Dalam hal ini Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang mempunyai karateristik pengembangan keilmuan di bidang hukum baik hukum Islam maupun hukum positif menjadi salah satu komponen yang seharusnya mampu menjawab kegelisahan-kegelisahan yang timbul akibat perkembangan kondisi dan zaman saat ini yang menuntut adanya suatu pembaharuan dalam hukum yang berlaku dalam suatu tatanan masyarakat. Sehingga fungsi hukum sebagai social engineering dapat diterapkan sebagaimana mestinya.
B.    RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas penelitian ini ingin mencoba mengetahui:
1.         Bagaimana pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarata terhadap kriminalisasi praktek poligami di Indonesia beserta alasan pendapat tersebut.
2.         Bagaimana hukum Islam memandang kriminalisasi praktek poligami serta relevansinya dengan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
3.         Sejauh mana masyarakat mengetahui adanya proses kriminalisasi praktek poligami di Indonesia.
C.    TUJUAN DAN KEGUNAAN
Ø  Tujuan:
1.    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemikiran Dosen  Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terkait kriminalisasi poligami di Indonesia dan landasan hukum dari pendapat tersebut.
2.    Untuk mengetahui pentingnya kriminalisasi praktek poligami di Indonesia dan sejauh mana masyarakat memahami kriminalisasi terhadap praktek poligami.
Ø  Kegunaan:
1.    Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan khasanah keilmuan di bidang Pembaharuan Hukum Keluarga di Indonesia.
2.    Menjadi data untuk pengembangan kajian yang lebih mendalam terhadap relevansi perundang-undangan di Indonesia yang membahas kriminalisasi poligami.
D.    TINJAUAN PUSTAKA
Untuk meletakkan penelitian ini di antara penelitian yang telah dilakukan, dan agar lebih fokus serta terarah, dirasa perlu untuk melakukan telaah pustaka. Setelah dilakukan telaah pustaka, ternyata belum dijumpai tulisan yang membahas secara spesifik permasalahan kriminalisasi praktek poligami dari perspektif pemikiran Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di antara karya yang membahas poligami maupun kriminalisasi poligami secara umum adalah buku yang berjudul Riba dan Poligami[16] karya Prof. Dr. H. Khoirudin Nasution, MA. Yang di dalamnya membahas secara garis besar pandangan para ulama secara keseluruhan terhadap poligami yang dapat digolongkan dalam tiga pendapat dalam sejarah pemikiran Islam. Pertama, mereka yang memegangi ketidakbolehan memiliki wanita lebih dari satu kecuali dalam kondisi tertentu. Kedua, adalah mereka yang mengalami kebolehan menikahi wanita lebih dari satu. Ketiga, adalah mereka yang berpendapat menikai wanita lebih dari empat diperbolehkan. Dan dalam bukunya yang lain dengan judul STATUS WANITA DI ASIA TENGGARA, Studi Terhadap Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Yang menjelaskan sejarah poligami dan posisi perempuan dalam undang-undang.
Buku Panduan Fiqih Perempuan karya Yusuf al-Qardowi yang diterjemahkan oleh al-Ghazali Mukri, menjelaskan bahwa seorang laki-laki yang telah memiliki seorang isteri dia dapat merasakan kepuasan dalam segala hal dan dapat menjaga kesucian dirinya. Maka dia dimakruhkan kawin dengan seorang perempuan lagi karena dikhawatirkan dengan kawinnya itu akan menjerumuskan dirinya pada sesuatu yang di larang Allah SWT.[17]
Artikel Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim [18]oleh Zakki Shaleh yang  memfokuskan kajian kriminalisasi praktek poligami pada beberapa negara Muslim, seperti: Turki, Tunisia, Irak, Malaysia, dan Indonesia, dengan menggunakan pendekatan komparatif, meliputi: komparasi vertikal (hukum negara-doktrin hukum klasik); komparasi horizontal (hukum antar negara); komparasi diagonal (tingkat dinamisasi hukum). Selain itu, guna mendapatkan perbandingan yang lebih luas, juga dilengkapi dengan  tinjauan terhadap kebijakan hukum mengenai poligami di negara-negara non-Muslim (negara Barat).
Dalam skripsi juga diambil beberapa data di antaranya skripsi dengan judul Poligami dalam Prespektif Hukum Islam di Indonesia dan Hak Asasi Manusia[19] karya Eko Eni Setyaningsih dari skrispsi ini penulis tidak menjelaskan bagaimana masalah poligami yang spesifik pada pembahasan kriminalisasi praktek poligami.
E.     LANDASAN TEORI
Islam mendambakan kebahagian keluarga, kebahagian antara lain yang di dukung oleh cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar seseorang tidak mencintai kecuali pasangannya.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat “missaqan ghalizan” untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah[20] dalam pasal 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 3 dari Undang-undang[21] tersebut menjelaskan bahwa pada prinsipnya asas perkawinan di Indonesia adalah monogami. Pelaksanaan di luar azas monogami dalam perkawinan, pada umumnya menyebabkan ketidakadilan, serta banyaknya problem yang muncul di antaranya, melegitimasi perkawinan di bawah tangan, tingginya kasus pernikahan anak-anak serta tingginya kasus domestik violence, dan terlantarnya istri dan anak-anak secara psikologis dan ekonomis.[22]
Metode yang akan digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah metodologi pemikiran Fazlur Rahman terhadap epistimologi pembaharuan hukum Islam dengan pendekatan ushul fiqh. Menurutnya[23] legalisasi al-Qur’an dalam metodologi Arab yang biasanya dipergunakan istilah Tasyri’ adalah pernyataan  al-Qur’an yang bermuatan hukum. Meskipun al-Qur’an mengandung beberapa pernyataan aturan hukum yang penting, tetapi menurutnya itu hanya seruan moral semata, bukan merupakan dokumen hukum. Metodologi yang digunakan tidak berbeda jauh dengan metode ushul fiqh yang digunakan para ahli ushul fiqh, yakni konsep tujuan penetapan hukum (al-maqasid al-tasyri’). Konsep ini tidak berbeda jauh dengan konsep pemikiran Fazlur Rahman tentang keadilan sosial (al-adalah al-ijtima’iah). Seluruh ide-ide dan konsep metodologi Fazlur Rahman dirumuskan dalam dua upaya metodis yang masing-masing terdiri dari serangkaian kerja intelektual. Upaya pertama pada dasarnya merupakan perjalanan dari tiga pendekatan pemahaman pada penafsiran al-Qur’an, yakni pendekatan historis, pendekatan kontekstual, dan pendekatan sosiologi. . upaya pertama lebih dikhususkan pada ayat-ayat hukum dengan metode berfikir induktif, yakni berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju pada moral sosial, yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini terdapat tiga perangkat untuk dapat menyimpulkan prinsip moral sosial,  yaitu perangkat illat hukum (ratio logia) dinyatakan oleh al-qur’an secara eksplisit, yang dapat diketahui dengan cara mengeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik yang terkait dan perangkat sosio historisyang bisa berfungsi untuk menguatkan illat hukum implisit untuk menetapkan arah maksud tujuannya. Sedangkan upaya kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan al-Qur’an yang telah disistematikan melalui upaya pertama di atas terhadap situasi dan atau kasus aktual sekarang.[24]
F.     METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan penelitian ini, digunakan metode sebagai berikut:
1.      Jenis dan sumber data
Jenis penelitian adalah lapangan.[25] Artinya data yang dijadikan rujukan penelitian ini adalah fakta-fakta di lapangan, yakni yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Terhadap Kriminalisasi Poligami. Sedangkan data yang diperoleh dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
a.       Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan.
b.      Data sekunder, yaitu data yang berasal dari literatur, perundang-undangan, dan dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.
2.      Teknik Pengumpulan Data
a.       Wawancara: dalam hal ini penulis mewawancarai dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum  dengan menggunakan wawancara terpimpin. Dalam wawancara ini jenis pertanyaan diajukan menurut daftar pertanyaan yang telah disusun kemudian direkam.
b.      Kepustakaan: penulis melakukan studi pustaka untuk mendapatkan bahan atau buku yang berkaitan dengan kriminalisasi poligami.
c.       Dokumentasi: yaitu catatan, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Dengan metode ini penyusun akan mencari dan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan kriminalisasi poligami.[26]
3.      Populasi dan teknik pengambilan sampel
Dalam hal ini yang dijadikan populasi penelitian adalah dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum yang berjumlah 87 orang. Pengambilan sampel  digunakan karena penyusun menggunakan wawancara dalam pengumpulan data, maka populasinya adalah responden. Jadi yang menjadi populasi dalam hal ini adalah dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjumlah 87 orang dan diambil beberapa orang.
Dalam pengambilan sampel digunakan teknik purposive sampling (sampling dengan maksud tertentu). Dalam purposive sampling pemilihan sampel bertitik tolak pada penilaian pribadi peneliti yang menyatakan sampel yang dipilih benar-benar representatif. Dengan teknik ini, sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah dirumuskan.  Adapun kriteria yang digunanakna dalam penelitian ini adalah dosen-dosen tetap fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakartayang penulis asumsikan memiliki pemikiran dan latar belakang keilmuan yang berbeda, sehingga nantinya dapat memberikan pandangan yang sesuai dengan kecenderungan mazhab masing-masing.
4.      Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, artinya analisis dilakukan dengan menguraikan data yang diperoleh di lapangan berdasarkan sampling yang dilakukan secara acak terhadap subjek penelitian.
G.    SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Untuk mempermudah proses penyelesaian laporan penelitian serta mempermudah pembahasan dengan tujuan agar mudah dipahami serta mendapatkan kesimpulan yang benar, maka penyusun menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan, memuat latar belakang masalah dengan menguraikan tentang hal-hal yang melatar belakangi pembahasan ini. Kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, lalu tujuan dan kegunaan penelitian, setelah itu dilanjutkan dengan tinjauan pustaka, landasan teori menempati urutan selanjutnya yang merupakan uraian landasan teori yang dipakai untuk menelusuri pokok masalah yang diteliti, selanjutnya adalah metode penelitian, adapun untuk mempermudah pembahasan kami sertakan sistematika pembahasan pada sub bab selanjutnya.
Bab kedua merupakan pemaparan data tentang kriminalisasi praktek poligami dalam pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang diawali dengan menjelaskan jumlah dosen tetap di lingkungan  Fakultas Syari’ah beserta latar belakang pendidikannya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pola pemikiran dosen terhadap kriminalisasi praktek poligami dan dilanjutkan dengan pendapat para dosen terkait kriminalisasi praktek poligami.
Bab ketiga merupakan analisis, yang berisi tentang analisis terhadap pandangan Dosen Fakultas Syari’ah terhadap kriminalisasi poligami yang terdiri dari sub-sub bab yaitu pandangan Dosen Fakultas Syari’ah yang setuju dan membolehkan kriminalisasi praktek poligami dan Dosen yang sangat tidak setuju dan melarang kriminalisasi praktek poligami.
Bab keempat berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan pembahasan dan saran yang berkaitan dengan permasalahan kriminalisasi praktek poligami.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardowi, Yusuf, Panduan fiqih Perempuan, Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004.
Arifin, Bustanul, Wanita dan Hukum di Indonesia, Status dan Kedudukannya di Legislasi Indonesia, Wanita dalam Masyarakat Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
Hasan, Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Graha Indonesia,2002.
Khoirudin Nasution, Poligami dan Riba Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.
Mas’adi, Gufron, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi,  Pembaharuan
Hukum  Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998.
Mas’udi, Masdar Farid, Perempuan Di Antara Lembaran Kitab Kuning,
Membincangkan Feminisme Diskorsis Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia, 2004.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 1975.
Setyaningsih, Eko Eni, Poligami dalam Prespektif Hukum Islam di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.
Shaleh, Zakki, Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim, http://publiksyari’ah.blogspot.com, diakses tanggal 31 Mei 2011.
Syahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2004.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.










[1] Diajukan sebagai judul proposal penelitian mahasiswa yang diadakan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2011.
[2] Peneliti terdiri dari dua mahasiswa, yakni: Anif Rahmawati (Mahasiswa Semester VI Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah.
[3] Istilah poligami adalah perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih, namun cenderung diartikan: perkawinan satu orang suami dengan dua orang isteri atau lebih. Lihat Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 606.
[4] Lihat, QS. An-Nisa’ (4): 4.
[5] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), hlm. 425.
[6]  Yusuf  Al-Qardhawi, Panduan Fikih Perempuan, (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004), hlm. 191.
[7] Khoirudin Nasution, Poligami dan Riba Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 102.
[8] Ibid., hlm. 105.
[9] Siti Musdah mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 41.
[10] Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 pasal 3.
[11] Disebutkan dalam Pasal 4 : (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan  atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.  Sedangkan pada Pasal 5 (1): Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (ayat 1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istti-istri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 
[12] Dalam KHI persoalan poligami diatur dalam pasal 55-59, dari segi substansi pasal-pasal tersebut mengacu dan selaras dengan ketentuan yang diatur oleh UU No. 1/1974 Pasal 3, 4, dan 5.
[13] Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 1975 Pasal 45 ayat (1)
[14] Ibid., Pasal 45 ayat (2)
[15] Dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bagian VII perihal Sanksi, disebutkan bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS, apabila melakukan salah satu/lebih perbuatan berikut:
a.       Tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat kepada Pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 tahun setelah perkawinan dilangsungkan.
b.       Setiap atasan yang tidak memberi pertimbangan dan tidak meneruskan permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk melakukan perceraian, dan atau untuk beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan setelah ia menerima permintaan izin/pemberhentian adanya gugatan perceraian.
c.       Pejabat yang tidak memberikan putusan terhadap permintaan izin perceraian/tidak memberikan surat  keterangan atas pemberitahuan adanya gugatan perceraian dan atau tidak memberikan keputusan terhadap permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan setelah ia menerima permintaan izin/pemberitahuan adanya gugatan perceraian.
[16] Khoirudin Nasution, Poligami dan Riba Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.
[17] Yusuf al-Qardowi, Panduan fiqih Perempuan, (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004)
[18] Zakki Shaleh, Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim, http://publiksyari’ah.blogspot.com, diakses tanggal 31 Mei 2011.
[19] Eko Eni Setyaningsih, Poligami dalam Prespektif Hukum Islam di Indonesia dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta, Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007).
[20] Bustanul Arifin, Wanita dan Hukum di Indonesia, Status dan Kedudukannya di Legislasi Indonesia, Wanita dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 2.
[21] Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 pasal 3.
[22] Masdar Farid Masudi, Perempuan Di Antara Lembaran Kitab Kuning, Membincangkan Feminisme Diskorsis Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 172-173.
[23] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 216
[24] Gufron Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi,  Pembaharuan Hukum  Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 121.
[25] Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. (Jakarta: Graha Indonesia,2002), hlm. 87.
[26] Ibid., hlm. 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar